Wajah Bumi dalam Spektrum Waktu: Catatan Kecil dari Perspektif Ekologis dan Astronomis

Dalam perhitungan yang dilakukan oleh K.P. Schroder dan Robert Cannon Smith, 3,09 miliar tahun dari sekarang, matahari akan mengalami proses kehilangan massa yang dalam jangka waktu 5 juta tahun, akan menyapu seluruh planet bagian dalam. Dalam perhitungan mereka berdua, bumi sama sekali tidak mempunyai peluang untuk selamat. Merujuk pada pendapat Elon Musk bahwa peningkatan kecerahan satu persen dari matahari setiap 100 juta tahun, maka dapat diestimasikan bahwa tumbuhan-tumbuhan yang dapat hidup hanyalah tumbuhan-tumbuhan semacam: lichens (sejenis lumut), pohon-pohon yang bisa melakukan kloning diri, lithops (tanaman “batu hidup”), kakao, silene stenophylla (tanaman bunga yang suka pada iklim dingin), hingga tumbuhan-tumbuhan yang hidup di pegunungan Himalaya, sebagaimana yang diteliti oleh ahli botani, James Wong.

Komparasi keduanya

Kalau bicara ilmiah, maka pemanasan global tidak hanya berbasis pada telaah ekologis, tapi juga astronomis (bahkan geologis dan geografis dalam beberapa hal). Perbedaannya terletak pada rentang waktu pemanasan global itu akan terjadi. Tapi, manusia dituntut untuk memilih yang penting-mendesak, dan hal itu jatuh pada telaah ekologis. Telaah ekologis, berarti manusia harus lebih sadar lingkungan: kurangi menggunakan plastik, penebangan pohon, polusi, hingga emisi gas rumah kaca (sebagaimana yang termuat dalam 17 tujuan, 169 target, dan 242 indikator dari 198 negara di dunia yang kemudian menjadi Sustainable Development Goals).

Kenapa harus alasan ekologis? Karena umur rata-rata manusia dalam satu sampai tujuh generasi masih memungkinkan untuk menyaksikan pemanasan global yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beda dengan perspektif astronomis yang estimasinya dihitung bahkan paling cepat adalah 300 tahun, yang berarti estimasi waktu itu tidak cukup memungkinkan bagi manusia untuk hidup dalam satu sampai tujuh generasi. Bisa saja, manusia bahkan sudah punah sebelum rentang waktu paling cepat dalam perspektif astronomis tersebut.

BACA JUGA   Demi Kampanye Bermartabat, Bawaslu Tidore Bikin Rakor Penanganan Pelanggaran

Manusia tinggal memilih, mau hidup dengan estimasi pertukaran oksigen dan karbon dioksida yang stabil, atau mati sebelum itu? Mau hidup di bumi dengan beragam sumber oksigen yang sudah tersedia dengan kaya, atau hidup di Mars seperti keinginan Elon Musk, yang terdaftar sebagai salah satu manusia terkaya di dunia. Apalagi, NASA baru saja berhasil mengekstraksi udara di Mars menjadi oksigen dan diumumkan pada 21 April 2021 lalu. Mau hidup dengan alam yang netral karbon, seperti target Perdana Menteri Selandia Baru untuk Selandia Baru bebas karbon 2050, dan tidak memakan banyak biaya, atau menunggu keajaiban hasil penelitian besar dari NASA untuk mampu mengekstraksi lebih banyak oksigen di planet Mars, yang itu hanya berkemungkinan bisa diakses oleh satu persen manusia di Bumi? Semoga kesadaran lingkungan segera hadir, sekaligus tidak didikte oleh kutukan sumber daya alam atau paradoks keberlimpahan. Semoga saja!