Oleh : Muhammad Wildan
Penulis adalah Pemred Sentranews.id
Sudah 76 tahun Indonesia merdeka, adalah sebuah pernyataan yang sekilas terdengar normal, namun terkesan pasif dan pesimis. Memang 76 tahun sudah, sejak teks proklamasi dibacakan oleh Ir. Sukarno di kediamannya, rumah milik Faradj Martak, seorang saudagar keturunan Arab di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta (sekarang Tugu Proklamasi). Kemerdekaan yang kita proklamirkan setelah berjuang sebagai sebuah nation selama 17 tahun, kurang 2 bulan dan 11 hari sejak Sumpah Pemuda diikrarkan.
Kemerdekaan yang oleh Ir. Sukarno disebut jembatan emas -sebuah simbolisasi momentum- yang ia yakini dapat mengantarkan kita ke seberang sana, yaitu kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita-cita kemerdekaan yang hingga kini terasa memang masih di sana, belum di sini. Sejarah perjuangan kemerdekaan sebenarnya belum berakhir dan masih terus bergulir. Kita telah menyeberangi jembatan emas itu, kita memang sudah di seberang, namun kemerdekaan yang 100 persen belum juga tergapai. Kemerdekaan sepertinya lebih merupakan sebuah proses yang tidak akan pernah mencapai 100 persen. Sehebat apapun generasi, kita pasti akan berhenti di titik 99,99 persen, karena kemerdekaan sempurna hanya akan ada di surga.
Sudah 76 tahun merdeka, namun cita-cita kemerdekaan seolah kian menjauh, rakyat Indonesia yang adil dan makmur terasa kian utopis, nada-nada pesimis terdengar melantun dalam rintihan anak negeri. Republik yang rakyat dirikan sebagi wujud kemerdekaan ibarat pagar makan tanaman. Utang yang menumpuk, kesenjangan yang melebar, hingga pengangguran yang meluas serta tumpulnya penegakan hukum adalah gambaran keseharian yang kita lihat di media massa. Sementara para elit sibuk menawarkan jasanya untuk digerayangi bergantian oleh kaum oligark, pemerintah serupa penjaga loket yang sibuk menjual karcis terusan lomba eksploitasi.
Sederet kenyataan tersebut seperti memaksa kita untuk berhenti berharap, jika tidak berhenti percaya pada keterangan penguasa. Angka-angka statistik dan realitas kehidupan masyarakat tampak sudah sangat pesimistik. Kita tentu tetap percaya kepada negara, Republik Indonesia adalah karya intelektual para pendiri bangsa yang harus terus kita percayai. Kita hanya meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola keragaman Indonesia. Biodiversitas kebangsaan kita yang merupakan karya ilahiah membutuhkan kepemimpinan yang cerdas dan mengerti, sebelum segala keragaman tersebut berubah menjadi kutukan.
Kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah realitas ontologis kini mulai digugat, ujaran-ujaran bernada pesimis setiap hari kita dengar, pertanyaan dan pernyataan ahistoris seperti; apakah kita sudah merdeka? Menjadi lazim di telinga, baik dari masyarakat umum, terlebih dari kalangan akademis. Bangsa Indonesia seharusnya wajib mengimani Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sebagai sebuah fakta sejarah. Otentisitas peristiwa tersebut tidak boleh diragukan, meski substansi dan cita-cita kemerdekaan masih belum terwujud. Keterpurukan harus dipandang sebagai jalan menuju perbaikan. Sebagaimana hukum impuls-momentum, berbagai kemunduran saat ini adalah pijakan menuju kemajuan.