Oleh:
Asmar Hi. Daud (Dosen Universitas Khairun Ternate)

Anak Pesisir yang Tak Peduli

Namaku Adeeva. Aku terlahir di sebuah desa pesisir dan tumbuh besar sebagai anak seribu pulau. Aku sangat mencintai laut dengan segala keragaman hayatinya. Bentangan alam yang begitu indah dan aneka kuliner laut yang begitu menggoda. Sebagai anak yang terlahir di negeri pesisir membuatku sangat bahagia ketika berada di pantai.

Pasir putih menghampar, semilir angin yang berhembus, nyiur melambai dan deburan ombak benar-benar perpaduan alam yang menentramkan jiwaku. Di dalam laut juga tidak kalah istimewa. Beragam jenis ikan, karang, dan biota ikan lainnya menyatu menyajikan keindahan yang tak terlukiskan. Namun, rasa cintaku terhadap laut ternyata hanya semu. Aku hanya menikmati keindahan itu tanpa rasa peka dan tak punya rasa peduli. Ironisnya lagi, ketidak pedulian itu ternyata bukan hanya tentang aku, tapi tentang kita, dan tentang semua orang.

Pada suatu waktu, aku baru tersadar, ketika menyaksikan sekolompok orang dengan warna yang berbeda berjibaku membersihkan sebuah pantai. Mereka seolah berpacu dengan waktu dan menantang gelombang sebelum apa-apa yang mereka temukan itu kembali lagi hanyut ke laut. Semula aku hanya melihatnya dari kejauhan dan tak ingin peduli. Namun dengan rasa penasaran, aku mencoba mengubah arah langkah dan mendekat untuk sekedar memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

Ternyata, yang mereka lakukan adalah mengangkat dan membersihkan tumpukan sampah plastik setebal satu meter yang telah membenamkan pantai, yang selama ini menjadi tempat di mana mereka menghabiskan sebagian uang dan waktu mereka hanya untuk menikmati indahnya  panorama alam di pantai tersebut.
Sungguh mencengangkan, tidak kurang dari seminggu bersih-bersih, mereka telah berhasil mengangkat serta mengangkut lebih dari 20 ton limbah yang sebagian besarnya adalah sampah plastik.

BACA JUGA   HMI BAHAGIA: “JALAN TENGAH” HMI MENUJU INDONESIA MAJU

Sepatu dan sandal bekas, pasta gigi bekas, potongan-potongan pipa dan tali, lembaran-lembaran karung dan gelon bekas, botol plastik, sendok plastik, gelas plastik, sedotan plastik, kantong plastik serta jenis plastik-plastik yang lain adalah bahan sampah yang paling banyak ditemukan di pantai itu.
Di pantai mana? Di kota apa, dan atau di daerah mana? Mungkin tidaklah penting aku sebutkan tempat kejadiannya.

Karena tumpukan sampah plastik dan sejenisnya juga sudah merupakan pemandangan yang biasa dan sering terjadi di pantai dan di kotaku sendiri ketika penghujan datang dan musim ombak tiba. Apakah peristiwa seperti ini sudah menjadi sesuatu yang biasa? Tanyaku pada salah satu pelancong asing yang juga ikut peduli dan giat membersihkan sampah pada saat itu. Aku tahu dan tidak terkejut dengan kejadian ini, kawan. Sebab inilah dunia kita saat ini, lingkungan kita saat ini, dan masalah yang kita hadapi saat ini.

Dan inilah kenyataannya, bahwa sejauh apapun sampah yang kita buang dengan berbagai jenis dan besarannya, dia akan tetap kembali dan atau berpulang kepada kita. Seperti bayanganmu sendiri yang tak akan jauh dari kenyataanmu di depan cermin. Katanya, setengah menasehati, dan mencoba menyadarkanku.